Saturday, 26 August 2017

CERITA PENDEK



Hei, KAU!
Mentari pagi ini menyapaku, ia seolah bertanya,
“Hei siapa lagi yang kau tunggu?”
Aku bergumam dalam hati, “Tak ada lagi yang aku tunggu.”
Aku duduk disini hanya ingin mengenangmu. Mengenang waktu yang bagai pedang melesat begitu cepat. Menembus semua hari-hariku. Saat semua harapan begitu cepat merasuki jiwa lalu dengan gesit pula berlalu tanpa arah. Aku tidak lagi menunggumu. Tidak sama sekali. Jangan pernah terbesit dalam benakmu bila aku masih menantimu. Semua itu telah pergi bersama daun-daun yang berguguran. Hari ini aku pastikan aku hanya mengenangmu. Sekali ini dan terakhir kalinya. Saat itu kau tidak pernah tahu, setiap hari saat mentari menampakkan sinarnya aku selalu berharap kau akan datang dari seberang kotamu yang teramat jauh untuk menghampiriku, menapaki waktu demi waktu bersama.  Tapi itu harapku, dulu!
-----
“Hei, aku pamit yah, mau ikut orang tua kerja disana.” Tiba-tiba kau dan temanmu datang menghampiri di luar halaman rumahku. Saat itu tak ada rasa apapun, bagiku kau hanya teman biasa. Aku hanya tersenyum bahagia karena aku masih bisa melihatmu lagi sebelum kepergianmu. Saat itu hatiku belum peka memahami getaran hatiku sendiri hingga akhirnya kau pergi, kala itu aku hanya berkata, “Jangan lupa datang ke kota ini lagi, dan bertemu teman-teman kita lagi yah, jangan lupakan kami,” lalu engkau melambaikan tangan dan berlalu. Selang beberapa bulan kepergianmu aku menyadari ada yang hilang dari hidupku dan itu adalah kau. Terlebih lagi, dengan intens kau selalu menanyakan kabarku. Kita berkomunikasi lewat media sosial, kau bercerita tentang kisah kehidupanmu di sana, dan aku menceritakan seluruh keseharianku di sini. Sejak awal kita berteman, aku mengagumi seluruh yang ada pada dirimu khususnya sifatmu yang tak bisa kutemukan di lelaki manapun. Walau tak setiap hari kita berkomunikasi, tetapi beberapa bulan kita selalu berkomunikasi, terlebih lagi kau sering bercerita tentang harapan-harapanmu  di masa depan.  Seakan-akan memberi perhatian demi perhatian hingga aku merasa jika kau menempatkan diriku sebagai bagian dari harapmu. Atau mungkin aku yang terlalu PEDE. Mungkin.
Kala itu, kau ingin menghubungiku. Kau ingin bercerita tentang seorang wanita yang mendekatimu, wanita itu selalu membantu meringankan pekerjaanmu. Kau menghubungiku menceritakan semua rasa tidak nyamanmu atas perlakuannya, aku sangat bahagia ketika kita bisa berbicara lewat telepon, walau hanya sekejap waktu, sebab aku bisa mendengar suaramu yang telah bertahun-tahun tak kudengar. Aku hanya berujar padamu bersikap biasalah padanya. Pernah pula kita mengobrol lepas lewat media sosial dan sampai akhirnya kita berbasa-basi tentang masa depan, aku pun sempat berujar. “Undang yah kalau kau nikah nanti.” Lalu kau bergurau padaku, “Jangan sampai kau yang lebih dahulu menggendong bayi ketika aku datang ke kotamu lagi. hahaha.” Kita selalu  bersenda gurau bersama dan membahas begitu banyak hal tentang kotaku dan begitupun tentang kotamu. Walau sebenarnya hatiku tak pernah mengharap undangan darimu. Tapi aku tak tahu apa yang terbesit dalam hatimu. Apakah sama tak relanya seperti diriku? Entahlah hanya engkau yang tahu. Aku selalu berpesan untuk selalu menjaga kesehatanmu. Aku selalu berujar datanglah ke kota ini jika engkau ada waktu dan engkau selalu memberi harapan jika engkau akan datang jika waktu telah tepat. Apakah waktu akan benar-benar tepat? Seketika tanya itu terbesit dalam benakku. Kita tidak pernah punya nama dalam hubungan ini, tapi aku tahu aku menyimpan rasa yang nyata. Entah bagimu.
Beberapa bulan kemudian, segudang kesibukanku dan mungkin kesibukanmu pula membuat kita sangat jarang berkomunikasi bahkan nyaris tidak pernah tapi harapanku tetap sama padamu. Hingga kabar mengejutkan menghampiriku, salah satu sahabatmu memberi tahu bahwa kamu akan menikah. Hatiku tidak percaya. Aku pun mengecek akun media sosialmu dan aku memulai obrolan dengan hatiku yang tak kuat mengatakan, “Selamat yah atas rencana pernikahanmu,” lalu dengan panjang lebar kau berkata, “Sungguh sangat berat mengatakan kepada orang yang kita sukai bahwa kita akan menikah, tetapi inilah takdir yang harus aku jalani. Maafkan semua kesalahanku. Mohon doanya.” Aku hanya menjawab, “Semoga kamu berbahagia.” Mungkin bagi sebagian orang hal seperti ini adalah biasa, tetapi kau tak tahu besarnya harapan dalam jiwaku, tak semudah itu melupakan penantian yang bertahun-tahun. Kau tidak pernah tahu seketika tangis pecah di pelupuk mataku. Ada rasa sakit yang luar biasa menusuk hatiku. Ada rasa kecewa yang teramat dalam ketika hubungan kita yang tanpa nama ini harus aku relakan terbang bersama seluruh impiku. Satu hal yang paling menyayat hatiku ketika kau mengakui rasa sukamu padaku justru saat kau memilih menjalani seluruh sisa hidupmu bersama wanita lain. Aku sempat bergumam dalam hati bahwa betapa beruntungnya wanita itu memilikimu. Kau tidak pernah tahu betapa sakitnya memikirkan itu. Impian yang begitu rapi kurajut. Aku yang senantiasa menantimu di kota penuh kebisingan ini tetapi nyatanya semua berbeda, sungguh, sangat sakit. Sakit yang tentu butuh waktu hingga semua bisa terobati. Aku sadar hubungan ini memang tak pernah bernama hingga suatu hal yang tak terduga harus selalu siap untuk dihadapi. Ternyata kita saling cinta meski pada akhirnya takdir yang memisahkan kita.
Aku tidak pernah ikhlas. Itu yang harus kau tahu.
---------
Lamunanku buyar ketika rerintik hujan tiba-tiba membasahi bumi. Mungkin semesta mengerti pedih yang pernah aku rasakan bertahun yang lalu hingga ia menjatuhkan bulirnya. Kadang aku berpikir mengapa orang tidak pernah bisa memilih kepada siapa ia akan jatuh cinta. Hei, aku sedang tidak menantimu, ingat itu! Kau telah memilih jalanmu, aku pun. Meski aku tidak akan pernah lupa kisah itu. Sampai hari ini aku tidak pernah percaya kau akan memupus berjuta harapku, tapi aku yakin kau tidak pernah berniat menyakitiku. Hanyalah takdir yang tak berpihak menyatukan nama aku dan kau menjadi KITA. Dulu cahaya mentarilah yang setia menjadi saksi utuhnya harapku atasmu. Namun, kini telah menjelma menjadi hujan yang menjatuhkan butir-butir luka tak terperi. Tapi kuyakin esok mentari tak akan sudi menyapa namamu lagi. Tidak lagi, sebab hari ini aku menuai harap untuk mengenangmu terakhir kalinya. Terakhir dan ingat jangan pernah mencariku meski suatu hari kau datang menjejaki kota ini lagi. Cukuplah ini menjadi kotaku, bukan kotamu. Itu saja pesanku untukmu kasih yang tak pernah sampai, rindu yang dulu tak pernah usai. Bukan sampai jumpa yang ingin kuucap saat ini, namun selamat tinggal hei kenangan. Hiduplah dalam kenangmu sendiri, jangan lagi melibatkanku. Berbahagialah dengan caramu, akupun. Satu hal yang harus KAU tahu, kini aku hanya selalu berusaha memaafkan sang WAKTU yang kala itu enggan berpihak pada nama KITA.

Makassar, 7 Juli 2017
di rumah kala hujan sore menyapa.