Hei,
KAU!
Mentari pagi ini menyapaku, ia seolah bertanya,
“Hei siapa lagi yang kau tunggu?”
Aku bergumam dalam hati, “Tak ada lagi yang aku tunggu.”
Aku duduk disini hanya ingin mengenangmu. Mengenang
waktu yang bagai pedang melesat begitu cepat. Menembus semua hari-hariku. Saat
semua harapan begitu cepat merasuki jiwa lalu dengan gesit pula berlalu tanpa
arah. Aku tidak lagi menunggumu. Tidak sama sekali. Jangan pernah terbesit
dalam benakmu bila aku masih menantimu. Semua itu telah pergi bersama daun-daun
yang berguguran. Hari ini aku pastikan aku hanya mengenangmu. Sekali ini dan
terakhir kalinya. Saat itu kau tidak pernah tahu, setiap hari saat mentari
menampakkan sinarnya aku selalu berharap kau akan datang dari seberang kotamu yang
teramat jauh untuk menghampiriku, menapaki waktu demi waktu bersama. Tapi itu harapku, dulu!
-----
“Hei, aku pamit yah, mau ikut orang tua kerja disana.”
Tiba-tiba kau dan temanmu datang menghampiri di luar halaman rumahku. Saat itu
tak ada rasa apapun, bagiku kau hanya teman biasa. Aku hanya tersenyum bahagia karena
aku masih bisa melihatmu lagi sebelum kepergianmu. Saat itu hatiku belum peka
memahami getaran hatiku sendiri hingga akhirnya kau pergi, kala itu aku hanya
berkata, “Jangan lupa datang ke kota ini lagi, dan bertemu teman-teman kita
lagi yah, jangan lupakan kami,” lalu engkau melambaikan tangan dan berlalu.
Selang beberapa bulan kepergianmu aku menyadari ada yang hilang dari hidupku
dan itu adalah kau. Terlebih lagi, dengan intens kau selalu menanyakan kabarku.
Kita berkomunikasi lewat media sosial, kau bercerita tentang kisah kehidupanmu di
sana, dan aku menceritakan seluruh keseharianku di sini. Sejak awal kita
berteman, aku mengagumi seluruh yang ada pada dirimu khususnya sifatmu yang tak
bisa kutemukan di lelaki manapun. Walau tak setiap hari kita berkomunikasi,
tetapi beberapa bulan kita selalu berkomunikasi, terlebih lagi kau sering bercerita tentang harapan-harapanmu di
masa depan. Seakan-akan memberi
perhatian demi perhatian hingga aku merasa jika kau menempatkan diriku sebagai
bagian dari harapmu. Atau mungkin aku yang terlalu PEDE. Mungkin.
Kala itu, kau ingin menghubungiku. Kau ingin bercerita
tentang seorang wanita yang mendekatimu, wanita itu selalu membantu meringankan
pekerjaanmu. Kau menghubungiku menceritakan semua rasa tidak nyamanmu atas
perlakuannya, aku sangat bahagia ketika kita bisa berbicara lewat telepon,
walau hanya sekejap waktu, sebab aku bisa mendengar suaramu yang telah bertahun-tahun
tak kudengar. Aku hanya berujar padamu bersikap biasalah padanya. Pernah pula
kita mengobrol lepas lewat media sosial dan sampai akhirnya kita berbasa-basi
tentang masa depan, aku pun sempat berujar. “Undang yah kalau kau nikah nanti.”
Lalu kau bergurau padaku, “Jangan sampai kau yang lebih dahulu menggendong bayi
ketika aku datang ke kotamu lagi. hahaha.” Kita selalu bersenda gurau bersama dan membahas begitu
banyak hal tentang kotaku dan begitupun tentang kotamu. Walau sebenarnya hatiku
tak pernah mengharap undangan darimu. Tapi aku tak tahu apa yang terbesit dalam
hatimu. Apakah sama tak relanya seperti diriku? Entahlah hanya engkau yang
tahu. Aku selalu berpesan untuk selalu menjaga kesehatanmu. Aku selalu berujar
datanglah ke kota ini jika engkau ada waktu dan engkau selalu memberi harapan jika engkau akan datang jika waktu telah tepat. Apakah waktu akan benar-benar tepat?
Seketika tanya itu terbesit dalam benakku. Kita tidak pernah punya nama dalam
hubungan ini, tapi aku tahu aku menyimpan rasa yang nyata. Entah bagimu.
Beberapa bulan kemudian, segudang kesibukanku dan mungkin
kesibukanmu pula membuat kita sangat jarang berkomunikasi bahkan nyaris tidak
pernah tapi harapanku tetap sama padamu. Hingga kabar mengejutkan menghampiriku,
salah satu sahabatmu memberi tahu bahwa kamu akan menikah. Hatiku tidak
percaya. Aku pun mengecek akun media sosialmu dan aku memulai obrolan dengan
hatiku yang tak kuat mengatakan, “Selamat yah atas rencana pernikahanmu,” lalu dengan
panjang lebar kau berkata, “Sungguh sangat berat mengatakan kepada orang yang
kita sukai bahwa kita akan menikah, tetapi inilah takdir yang harus aku jalani.
Maafkan semua kesalahanku. Mohon doanya.” Aku hanya menjawab, “Semoga kamu
berbahagia.” Mungkin bagi sebagian orang hal seperti ini adalah biasa, tetapi
kau tak tahu besarnya harapan dalam jiwaku, tak semudah itu melupakan penantian
yang bertahun-tahun. Kau tidak pernah tahu seketika tangis pecah di pelupuk mataku.
Ada rasa sakit yang luar biasa menusuk hatiku. Ada rasa kecewa yang teramat
dalam ketika hubungan kita yang tanpa nama ini harus aku relakan terbang
bersama seluruh impiku. Satu hal yang paling menyayat hatiku ketika kau mengakui
rasa sukamu padaku justru saat kau memilih menjalani seluruh sisa hidupmu
bersama wanita lain. Aku sempat bergumam dalam hati bahwa betapa beruntungnya
wanita itu memilikimu. Kau tidak pernah tahu betapa sakitnya memikirkan itu.
Impian yang begitu rapi kurajut. Aku yang senantiasa menantimu di kota penuh kebisingan
ini tetapi nyatanya semua berbeda, sungguh, sangat sakit. Sakit yang tentu butuh
waktu hingga semua bisa terobati. Aku sadar hubungan ini memang tak pernah
bernama hingga suatu hal yang tak terduga harus selalu siap untuk dihadapi. Ternyata
kita saling cinta meski pada akhirnya takdir yang memisahkan kita.
Aku tidak pernah ikhlas. Itu yang harus kau tahu.
---------
Lamunanku buyar ketika rerintik hujan tiba-tiba membasahi
bumi. Mungkin semesta mengerti pedih yang pernah aku rasakan bertahun yang lalu
hingga ia menjatuhkan bulirnya. Kadang aku berpikir mengapa orang tidak pernah
bisa memilih kepada siapa ia akan jatuh cinta. Hei, aku sedang tidak menantimu,
ingat itu! Kau telah memilih jalanmu, aku pun. Meski aku tidak akan pernah lupa
kisah itu. Sampai hari ini aku tidak pernah percaya kau akan memupus berjuta
harapku, tapi aku yakin kau tidak pernah berniat menyakitiku. Hanyalah takdir
yang tak berpihak menyatukan nama aku dan kau menjadi KITA. Dulu cahaya mentarilah
yang setia menjadi saksi utuhnya harapku atasmu. Namun, kini telah menjelma
menjadi hujan yang menjatuhkan butir-butir luka tak terperi. Tapi kuyakin esok mentari
tak akan sudi menyapa namamu lagi. Tidak lagi, sebab hari ini aku menuai harap untuk
mengenangmu terakhir kalinya. Terakhir dan ingat jangan pernah mencariku meski
suatu hari kau datang menjejaki kota ini lagi. Cukuplah ini menjadi kotaku,
bukan kotamu. Itu saja pesanku untukmu kasih yang tak pernah sampai, rindu yang
dulu tak pernah usai. Bukan sampai jumpa yang ingin kuucap saat ini, namun
selamat tinggal hei kenangan. Hiduplah dalam kenangmu sendiri, jangan lagi
melibatkanku. Berbahagialah dengan caramu, akupun. Satu hal yang harus KAU tahu,
kini aku hanya selalu berusaha memaafkan sang WAKTU yang kala itu enggan berpihak
pada nama KITA.
Makassar, 7 Juli 2017
di rumah kala hujan sore menyapa.
No comments:
Post a Comment