Sunday, 24 November 2013

Puisi

Cahaya Alam
untuk sahabatku

Kala asyik di depan TV
ku terkejut seketika listrik padam
kini sadar besarnya ketergantungan para manusia pada listrik
Segera mencari terang di sudut lain
Tepat di teras rumah
Cahaya luas hadir
Cahaya alam peneduh jiwa
serasa tak terjadi apa-apa 

Aku diam mengedarkan pandang mataku
pada langit yang hanya diselimuti awan putih
ditemani burung-burung kecil berterbangan
lalu hujan rintik-rintik datang menyapa
terasa semakin teduhlah jiwa ini
diiringi suara-suara indah dari masjid
dan kini senja sore semakin menapaki malam
cahaya alam sebentar lagi dihiasi bintang-bintang

Lalu seketika tersadar listrik kembali hidup
Terucap syukur tiada henti kepadaNya
dan mungkin inilah cara Tuhan sekadar mengingatkan manusia
pada ciptaanNya

(Nurzulasnih-Makassar, 24 November 2013)

Monday, 18 November 2013

Puisi



Lilin
                                   
Mereka teringat padamu ketika lampu padam
Ketika bara api menyinari  setiap sudut rumah
Ketika kepanikan menghantui mereka
Tentu ketika lampu padam mereka mengingatmu

                                        Rasa senang melanda ku ketika mereka  sedih
                                        Lalu menyergap segenap rasaku ketika ku dengar
                                        Bara api mu telah lenyap dan aku tertawa
                                        Beginikah hidupmu ? Hanya diingat ketika lampu padam

Mereka mengingatmu ketika lampu padam
Aku pun mengerti engkau dijadikan sumber energi cahaya
Ketika tak ada sumber energi  cahaya lain
Seperti  lampu, dan senter itu

                                        Mereka mengingatmu ketika lampu padam begitupun denganku
                                        Tetapi tak hanya itu aku tahu bahwa aku tak harus seperti mu
                                        Seperti dirimu yang menerangi kegelapan lalu hancur
    Saat  bara api mu telah habis
    Lilin, sungguh mereka mengingatmu ketika lampu padam.

                                                                                             Oleh:  Nurzulasnih
                                                       
 Makassar,  19 Maret 2013 dan 21 Maret 2013        

Friday, 15 November 2013

Menulis

Pramoedya Ananta Toer yang merupakan seorang sastrawan Indonesia menyatakan bahwa,
“Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
Selayaknyalah perlu kita merenung sejenak bahkan sedalam-dalamnya memikirkan maksud dari penyataan dari Pram ini betapa pentingnya menulis itu di dalam eksistensi diri kita di dalam kehidupan ini.
Menulis adalah kata yang tidak asing lagi bagi sebagian orang bahkan semua orang di dunia ini yang telah mengenal baca dan tulis yang tentu tahu menulis itu apa. Menulis merupakan pengungkapan gagasan dari pikiran kita tentang sesuatu hal yang dituangkan dalam sebuah tulisan Namun yang menjadi hal yang perlu menjadi sorotan apakah setiap dari kita sudah menjadikan menulis sebagai sebuah kegiatan yang rutin? Benar saja tidak semua orang bersedia melakukannya, terlebih dengan segala rutinitas yang dianggap jauh lebih penting dibandingkan menulis itu sendiri. Saya pun tak menampik hal itu, ketika kita berusaha mencoba memulai menulis berbagai faktor dapat menghalangi kita untuk menuangkan gagasan kita dalam menulis seperti malas, tugas yang harus diselesaikan, hiburan-hiburan yang telah tersedia di era globalisasi ini dan berbagai hal lain yang menghalangi kita memulai dengan satu kata bahkan satu huruf pun belum tentu berminat untuk memulai menulis.
Namun perlu kita pula kembali berpikir bahwa menulis semestinya tidak menjadi asing bagi kita, pikirkanlah makna kalimat yang diucapkan oleh Pram di atas bahwa yang tidak menulis akan hilang dari sejarah. Nah betapa kata-kata itu justru menjiwai kehidupan Pram, ketika ia sudah tidak lagi menjejaki kehidupan ini, namun tulisan-tulisannya tetap dibaca oleh masyarakat hingga saat ini. Coba bayangkan saja seandainya Pram tidak menuliskan apapun, Apakah kita akan tahu siapa dia? Apakah kita akan mengenal jauh lebih banyak tentang dirinya melalui tulisannya?
Pada kenyataannya tak bisa dipungkiri bahwa tulisan itu abadi, meski kita suatu saat tak lagi bernafas, tak lagi dapat menikmati indahnya dunia ini, tapi dengan menghasilkan tulisan justru penulis-penulis seakan tak pernah mati seakan hidup dengan utuh melalui tulisan-tulisannya. Adapula penyataan dari Pram bahwa “Menulis adalah sebuah keberanian…” dari kalimat ini tentu menulis bukanlah sesuatu hal yang sederhana, tapi kegiatan yang memang memerlukan keberanian, kemauan untuk memulainya.
Selain sebagai sebuah eksistensi diri di tengah masyarakat melalui penulis, maka Cobalah rasakan sendiri kepuasan diri ketika apa yang kita rasa, apa yang kita dengar, apa yang kita alami, apa yang kita lihat itu kita tuliskan, tentu berbagai gagasan itu tidak menjadi suatu yang sia-sia sebagai sebuah peristiwa yang telah terjadi yang terkadang memori kita bahkan sudah lupa dengan jelas apa yang kita alami. Maka menulislah, rasakan kenikmatan itu sendiri! Namun ingatlah juga bahwa kita (saya dan kamu) yang berminat menulis bahwa dalam hal menulis tentu dahuluilah dengan banyak membaca, itu pula PR bagi saya sendiri. Semoga kita bisa sama-sama merenungkannya dan tentu bertindak nyata.
Biarlah dunia mengenal kita tanpa perlu berjabat tangan dengan kita secara langsung, tetapi justru mendekap tulus diri kita melalui tulisan-tulisan kita. Tentu juga jangan lupa pada kalimat yang baik ini, “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.”, maka menulislah suatu tulisan yang dapat bermanfaat bagi orang lain.
MEMBACA, MEMBACA, MEMBACA dan MENULISLAH!


Thursday, 7 November 2013

Catatan Kisah



Akhir Penantian

-Nurzulasnih-



Ku resah dalam harap

Bukan kutakut engkau tak datang lagi

Namun aku takut ini akan sia-sia

Tahukah engkau aku menantimu?

Menantikan pertemuan kita lagi

Bukan dengan tatapan kosong

Tetapi dengan segenap harapan



Tahukah kau rasa yang membuncah ini?

Pernah kau sematkan hatimu padaku

dan sempat aku sematkan hatiku padamu

Tetapi takdir tak mengizinkan terus berjalan

Seiring dengan kisah yang engkau harap

Aku tahu sejuta harap cinta yang ingin

kau semai bersamaku dengan dasar cintamu

bertahun-tahun lamanya



Sungguh aku pun tak paham

Mengapa Tuhan menautkan hatimu padaku

Kadang aku protes padaNya

Jika kita tak diizinkan bersama dan engkau hanya

akan bersinggah lalu beranjak jauh bersama sang waktu

Lantas untuk apa pertemuan yang dirancang Tuhan untuk kita

Tak cukupkah rumput-rumput yang kita jejaki

menjadi saksi untaian janjimu padaku?

Tapi ku selalu percaya

Ucapanmu itu benar adanya

Sebab aku bisa merasakan setiap ucapan itu

Tak sekedar omongan belaka tapi ada secercah harapan tulus



Tetapi kini kusadari mungkin engkau hanyalah kisah

tuk bersinggah saja di sisi lain hidupku

Tak untuk nanti,

Seperti nanti yang engkau harapkan

Sebab aku rasa seakan ini hanya episode kehidupan

tak pernah akan bersambung tapi telah usai

Mungkin tak akan ada pertemuan kita lagi

Seperti yang pernah engkau janjikan 5 atau 10 tahun lagi

Aku berpasrah bukan pada kisah tentang dirimu lagi

namun kisah yang kelak membawaku percaya itu adalah cinta.



Makassar, 3 Agustus 2013 01:05 WITA

Untukmu yang Tak Mendengar


Surat Untukmu yang Tak mendengar,
Kau tahu kita memang baru saja bertemu, kita memang teman yang tak kusangka sedekat ini, sedekat ini terlibat senyum, obrolan yang tak jelas rimbanya, kau sumber semangatku, tak pernah sedikitpun engkau merasai. Engkau hanya sibuk dengan duniamu sendiri..

Tapi tahu tidak engkau arti kebersamaan yang tercipta itu yang terkadang saya menyalahkan takdir yang mempertemukan kita bahkan kadang menyalahkan diriku sendiri karena seakan membiarkan kebersamaan itu tercipta? sekali lagi tahukah kau makna kebersamaan itu terlebih pada kebersamaan kita?

Mungkin pula engkau tak tahu berapa lama saya ingin menulis surat ini untukmu, hanya untukmu. Tapi ku mohon jangan pernah engkau sebut aku sedang mengagumimu ataupun jatuh hati padamu? ku mohon jangan defenisikan seperti itu, karena akan merusak pertemanan kita. Teman ingat TEMAN!!

Pernah pula di suatu waktu saya tercengang mendengar kisahmu terlebih mendengar sendumu. Saat itu pula saya merasa kita semakin dekat. Hanya itu yang bisa saya defenisikan dekat, sedekat itu. 

Apakah engkau baik-baik saja membaca surat ini? semoga saja engkau baik saja. sebab doa ini mengiringi tiap langkahmu. Sesungguhnya saya hanya ingin engkau tahu bahwa ku hanya ingin menjauh darimu, darimu pelan tapi pasti karena kau tak akan akan mengerti luka yang kurasa, semoga dirimu dapat mendefenisikannya, dan memahami kondisiku, ini bukan hanya tentang dirimu, tetapi tentang siapa saja yang tengah menelusuri hatinya yang gundah akan rapuhnya kebersamaan  dan akhirnya memilih menjauh.

Di akhir surat ini, saya tak pernah mengharap engkau membalasnya, cukup saja bahwa saya telah lepas menulisnya, harapku hanya satu semoga kepedihan tak pernah betah berpihak padamu, semoga jikapun pedih menghampirimu hanya singgah saja dan berlalu karena aku sudah tak mampu menanggung bebanmu yang terkadang engkau bagi denganku, karena kedekatan kita yang justru melukaiku. Semoga saja engkau paham dan tak pernah menuntutku apapun, yah apapun seperti aku yang tak pernah ingin menuntutmu apapun.

Sampai jumpa pada masa dimana engkau dan aku tak pernah saling menyapa, tak pernah saling kenal sebab aku merindukan masa itu. Entah mengapa aku menyesali pertemuan kita. Semoga ini tak abadi dan segera beranjak pergi.

dari Orang yang ingin engkau dengar meski hanya bisik hati.